Fleksibilitas Definisi

by 13.05 0 komentar
Ketakutan barangkali tidak berarti sama ketika harinya telah tiba. 

Kesimpulan ini saya buat setelah berulang kali mengalami hal yang sama. Dulu ketika saya masih SMA saya sesekali membayangkan hidup di dunia perkuliahan. Barangkali saya harus ekstra keras dalam belajar, mengasah lebih tajam lagi kemampuan komunikasi, meraih prestasi, meraih sejuta resolusi. Pun kemudian ketika masa kuliah, membayangkan masa koas penuh dengan 'begadang'. Bahkan saya pernah mencoba simulasi tidak tidur semalaman agar terlatih tidak tertidur ketika jaga. Ya walaupun sebetulnya sejak SMA saya sudah terbiasa tidur hanya 1-2 jam. Saya membayangkan ketika saya harus jaga di rumah sakit, saya harus terjaga semalaman. Bayangan lain adalah saya harus betulan melakukan intubasi, membantu partus, melakukan minor surgery mandiri, memasang infus, dll. Semua yang saya pelajari di pre-klinik dan saya lakukan pada manekin akan saya lakukan pada pasien betulan.

Ada rasa was-was apakah saya akan mampu melakukan semua itu. Nyatanya setelah saya menjalaninya langsung, semuanya berjalan begitu saja. Saya masih ingat hari pertama saya jaga.
Stase obgyn adalah stase pertama, stase besar. Hari kedua masuk stase obgyn harus langsung jaga. Dari dua puluh enam anggota kelompok koas, terpilih 6 orang untuk jaga pertama kali. Saya salah satu dari enam orang tersebut. Begitu datang langsung diminta untuk merekam EKG pasien. Saya sudah lama tidak pegang mesin EKG! Terakhir kali ketika osce KBK I. Itupun saya harus mengulang osce stase EKG karena kelamaan masang elektroda akibat grogi dengan kabel yang banyak dan ruwet! Mengecewakan. Mengingat setiap mesin EKG bisa jadi beda cara mengoperasikannya. Untungnya saat itu saya jaga bersama teman saya yang sangat kooperatif. I love you au :* Akhirnya kami berdua berangkat ke ruangan alat untuk mengambil troli EKG, mendatangi pasien, melakukan informed consent singkat, lalu melakukan perekaman EKG. Muncul rasa deg-degan bagaimana kalau kami salah atur alatnya, bisa jadi kecepatannya belum tepat, voltagenya salah. Otomatis interpretasinya bisa salah. Menyedihkan. Teman saya sambil membuka contekan di hp dan kami keluar dengan lega. Lucu juga ternyata.

Belum lagi saat jaga pertama kami harus menghadapi pasien plus. Kami yang sangat polos dan bodoh saat itu selalu mengiyakan instruksi residen. Instruksinya adalah harus menilai tanda vital setiap 5 menit. Bayangkan! 5 menit! Padalah oleh keluarga sudah disetujui DNR. Kami diminta untuk duduk di samping pasien, mengukur tanda vital setiap 5 menit. Kalau saya ingat saat itu: kuwi koas tablo lapoooooo. Ini memang contoh instruksi yang saya pikir kurang berfaedah dan tidak perlu kami lakukan. Walaupun saya pernah mengalaminya berkali-kali, maksud saya mendapatkan instruksi untuk melakukan hal yang kurang berfaedah, beberapa kali saya merasa bersyukur karena pernah diminta melakukan hal tersebut. Sebetulnya angel side saya berkata bahwa setiap hal kecil yang pernah kita lewati dalam hidup kita memberikan makna yang besar untuk pembelajaran di kemudian hari. Beberapa ketakutan mengenai kehidupan koas yang saya takutkan ketika masih pre-klinik nyatanya saya lalui begitu saja ketika menjalani koas.

Ketika koas pun saya mengkhawatirkan masa internsip. Saya membaca curhatan senior ketika dia menjalani internship, dia harus membuat keputusan sendiri dalam membuat diagnosis dan menentukan terapi. Saya kemudian bertanya kepada diri sendiri: apakah saya nanti mampu melakuan hal itu? Muncul ketakutan dalam diri saya. Ketakutan lainnya muncul ketika saya mulai tidak menemukan teman untuk janjian barengan internsipnya. Dari sekian banyak teman, saya tidak menemukan yang sevisi-misi. Saya bimbang bahkan mengangis menyadari hal ini. Apakah nanti saya mampu hidup sendiri di lingkungan baru? Saya merasa sudah sangat ketergantugan dengan teman-teman koas saya. Bagaimana tidak. Setiap ada informasi baru mengenai dunia per-koas-an saya pasti akan bertanya ini itu dan ribut di group koas. Belum pernah saya secara mandiri mengurus segala pretelan koas. Kami selalu berbagi informasi, bekerja sama, saling membantu. Saya membayangkan betapa beruntungnya saya berada di kelompok koas saya saat itu. Ada teman yang sangat update masalah segala informasi, baik informasi mengenai koas, mengenai dunia kampus, mengenai gosip artis sekalipun. Heran bagaimana dia bisa seupdate itu. Sampai saat ini saya masih suka merecoki dia terkait hal apapun. Jika ada hal yang saya penarasan, saya pasti langsung chat dia. I love you au :* Ada juga teman yang kami anggap seperti konsulen. Dia menguasai ilmu semua stase, berjiwa kebapakan, sabar, religius, bijak. Dia selalu memberikan tentir di saat kami semua kebingungan. Ada yang darah biru, di mana ketika bareng dengannya saya merasa saya sejuk dan aman hehe. Ada yang lucu lugu dan polos. Ada yang menyebalkan. Ada yang seperti ibu peri. Ada yang cerewet. Ada yang suka marah-marah. Saya merasa dunia saya lengkap bersama mereka. Sehingga saya tidak bisa membayangkan bagaimana saya internsip dan hidup di lingkungan yang benar-benar baru bagi saya.

Dulu setelah mengalami masalah yang cukup pahit, saya pernah berniat untuk ingin hidup di lingkungan yang benar-benar baru dan memulai hidup baru. Nyatanya ketika saat itu datang saya merasa ketakutan. Sehingga dalam memutuskan akan internsip di mana saya bingung setengah mati. Semakin bingungnya saya sampai nyaris tidak memikirkannya dan berharap saya mendapat wahyu pada suatu malam. Aneh. Saya membuat daftar wahana banyak sekali. Hari berganti, daftar wahana pun ikut berganti. Namun satu yang saya hindari, yaitu internsip di daerah Jawa Tengah dan DIY. Saya tidak mau. Walaupun orangtua saya berusaha membujuk halus agar saya di Jawa Tengah saja. Saya tetap keukeuh tidak mau. Dengan sering bergantinya daftar wahana yang saya pertimbangkan, akhirnya pada suatu malam, betul malam hari, jam 11 malam menjelang hari pemilihan barulah terpilih satu nama wahana yang akan menjadi wahana prioritas pertama saya. Sebelumnya saya menangis dan menceritakan kekhawatiran saya pada seorang sahabat. Dia terus menyemangati saya, mengatakan saya pasti bisa karena kita memang diciptakan untuk bertahan hidup di segala macam kondisi. 
We are born to survive

Ketika tiba hari pemilihan pun muncul drama baru yang tidak kalah membuat saya ketakutan menghadapinya. Drama tersebut tidak akan saya ceritakan di sini. Sudah saya tulis di blog saya yang lain. Intinya setelah hari pemilihan itu saya hidup dalam ketakutan. Terus menghitung hari kapan saya berangkat ke wahana internsip saya. Ketika hari semakin dekat saya berusaha meyakinkan diri bahwa saya bisa, saya mampu, dan saya sangat siap. Saya tidak menangis dan saya bangga.

Hari ini ketika saya telah menjalani langsung apa yang namanya internsip itu, saya ingin menertawakan ketakutan saya kala itu. Saya tidak bilang bahwa ketakutan saya waktu itu tidak perlu. Hanya saja saya ingin bilang kepada diri saya 10 bulan yang lalu, "ketakutanmu akan berubah dan tidak lagi berarti sama ketika kamu telah menjalaninya sendiri". Pun saya ingin bilang kepada diri saya sendiri kalimat yang sama ketika saya merasakan ketakutan untuk menjalani masa depan yang serta masih dalam rabaan.

Susanti Mareta Anggraeni

Developer

Cras justo odio, dapibus ac facilisis in, egestas eget quam. Curabitur blandit tempus porttitor. Vivamus sagittis lacus vel augue laoreet rutrum faucibus dolor auctor.

0 komentar:

Posting Komentar